Rabu, 07 September 2016

Cerpen BERSYUKUR TANPAMU

BERSYUKUR TANPAMU

Hari itu, hari di mana untuk pertama kalinya aku tertarik pada sesosok pria yang membuat dadaku berdegup kencang setiap aku berhadapan dengannya. Merasakan perasaan yang beda dari biasanya, rasa yang selalu menggetarkan jiwa.
Ku pandangi wajahnya, ku terawang jari jemarinya, melukiskan dalam otakku begitu tenang senyumnya, sorot mata yang tak pernah memandangku, kaki yang pergi entah kemana menjauh dan menjauh. Tak mampu ku gapai namun meradang.
"Sepertinya aku menyukai dirinya?", celotehku memujinya tanpa ragu. Bertanya-tanya semua tentang dirinya pada teman karibku di kelas yang kebetulan merupakan senior pria itu. Banyak hal yang ku temukan dari dirinya, walaupun tak sebanyak air di hamparan lautan.

"Apakah kau suka padanya?", teman karibku bertanya hal yang sudah ku duga.
"Iya, mungkin. Menurutku dia orangnya pendiam, tidak banyak bicara dan jika dilihat-lihat manis juga!!", jawab ku tanpa ragu.
Waktu begitu cepat berlalu tanpa ku sadari aku terjerat asmara pada dirinya, setiap hari memandanginya tanpa jemu di depan lorong-lorong tempat kita menuntut ilmu, tempat siswa-siswi bergemuruh ketika lapar mulai merasuki alam yang tak asing lagi untuk cacing-cacing yang meronta meminta santapan biasanya.
Gelora asmara itu tiba-tiba saja mulai memudar ketika aku tahu di media sosial wanita itu menandai tentang suatu foto dan kata-kata mutiara pada pria yang aku sukai. Apa mungkin ia seorang teman? Atau bisa jadi kekasihnya? Aku masih bertanya-tanya hubungan mereka yang sebenarnya. Lebih parahnya, walaupun aku tak melihat secara langsung teman karibku melihat dia dan dirinya bertemu di depan kelas mereka.
Aku yang memicu semua pembicaraan antara Iner dan Rain, karena rasa penasaran yang mulai meradang dalam darah ini. Mereka lebih tahu dirinya di banding dengan aku sendiri. Tak ada perbincangan panjang antara aku dan mereka, cukup tiga kata tapi bermakna.
"Dia ketemuan kemarin", ucap Iner yang hampir membuatku shock setengah mati.
Rasa sedih mulai mampir dalam diriku, rasa kecewa pasti, benci itu tidak mungkin. Aku tidak mau menyalahkan dirinya akibat ulahku sendiri.
Pada suatu ketika, lantunan ayat suci Al-Quran berkumandang di tengah-tengah area sekolah. Benar saja, kami semua dalam kegiatan kerohanian. Dari ujung lorong seorang pria melantunkan suara kerasnya.
Tak lama kemudian, temanku berlari tergesa-gesa untuk memberitahu bahwa ada yang sakit di kelas 10. Dan ternyata, itu adalah dirinya. Firasatku tak pernah salah tentangnya, dengan ketulusan hati aku mengobati dirinya karena aku adalah bagian dari PMR di sekolahku. Bisa dibilang aku juga bagian terpenting diorganisasi itu.
Tak ada kata terima kasih dari dirinya, aku benci itu. Dengan wajah tanpa dosa ia tidak mengucapkan terima kasih. Aku merutuki diriku sendiri, karena aku menolong dengan pamrih. Kemudian aku berfikir jernih bahwa aku menolongnya atas dasar KEMANUSIAAN. Aku pergi meninggalkan dirinya di kelas.
Kejadian itu yang mengingatkanku pada dirinya sampai detik ini. Wajah pucat yang pasih, menandai betapa kesakitan dirinya dengan penyakitnya. Mungkin sekarang kau sudah lupa bukan? Dengan apa yang ku lakukan padamu waktu itu? Meski begitu aku tak apa kau tak mengingatnya, aku ikhlas menolongmu.
Lambat laun aku sadar bahwa persaanku tak terbalaskan. Kafa, sebenarnya tahu perasaanku dari Iner dan Rain. Kafa sangat acuh terhadapku, tak sekalipun ia bertanya padaku, menyapaku apa lagi tersenyum padaku. Ia hanya tersenyum kepada teman-temanku. Betapa sedihnya aku tak pernah terlihat olehnya.
Terkadang setiap malam menjelang tidur aku menangis di kamar. Mengapa aku bisa menyukainya dan begitu mengharapkannya? Dia yang membuatku seperti ini. Aku sakit Fa. Aku terluka ketika kau tak pernah sedikitpun memandangku Fa. Apakah kau tak pernah sadar? Walaupun aku tahu kau sudah ada yang memiliki, tapi tak bisakah kau menganggapku ada?
Dan untuk pertama kalinya kau tersenyum padaku ketika kau menjadi tura di upacara bendera. Kau tepat di depan mataku, aku sengaja tersenyum padamu Fa. Dan akupun senang saat kau membalasnya, dengan penuh keraguan. Aku melihat itu dari raut wajahmu. Aku sedih Fa, dengan keraguan itu. Aku sudah mencoba tersenyum berkali-kali padamu. Tapi apa kau masih ragu dengan senyumku?
Sampai akhirnya aku di pertemukan dengan hari di mana aku harus tampil bukan sebagai diriku. Menjadi wanita sombong dan angkuh tetapi tetap berkualitas. Peran itu aku terima karena sangat cocok dengan karakterku yang keras. Keras dalam hal yang positif.
Untuk pertama kalinya ia tersenyum tulus kepadaku, mungkin ia terkagum melihatku seperti itu apa mungkin Kafa merasa terhibur dengan pertunjukkan kelasku. Entahlah aku tak tahu? Yang jelas, aku hanya tahu bahwa dirinya tulus tersenyum padaku. Kesekian kalinya aku beralih menatap dirinya menatap lagi dan lagi saat aku bermain peran.
Masih bisanya ya saat-saat seperti itu aku memperhatikan orang lain. Di saat orang lain terfokus padaku aku malah berfokus kepada orang lain. Senyum itu yang mengingatkanku terhadapnya.
Hampir satu tahun setengah aku menyukainya, terlalu banyak luka pula yang aku terima. Kau tak pernah tahu Kafa, bagaimana aku berharap padamu. Aku selalu mengingat setiap malam aku menangisimu untuk kesekian kalinya akupun berfikir,
"Mengapa aku bisa menyukaimu dan begitu nyaman dengan aku menerawang wajahmu dari kejauhan?". 
Aku pernah menampik bahwa aku menyukaimu aku berkata pada mereka,
"Gue ga suka lagi sama Kafa, kalo gue sampe sekarang suka sama Kafa itu karena dia mirip sama almarhum Bapak gue. Bukan karena apa-apa".
Sebenarnya aku hanya mengada-ada tentang itu, tapi lama kelamaan Kafa memang benar-benar mirip dengan seorang pria yang seumur hidup selalu ku cintai bahkan aku menyayanginya sampai mati yaitu ayahku. Dia yang membuatku bertahan sampai detik ini.
Mulut-mulut mereka berceloteh penuh rasa iba padaku. Padahal aku tak perlu rasa iba dari mereka.
"Ya udah bilang aja langsung kalo lo suka sama dia. Langsung PDKT, minta no hpnya".
Aku selalu menentang,
"OMG Hello. Masa iya cewek duluan yang bilang, emang gue cewek apaan. Murahan banget kayanya. Sorry harga diri gue terlalu tinggi".
Teman-temanku pun akhirnya membenarkan perkataanku.
"Iya juga sih, takutnya Kafa jadi ilfeel".
Sudah terlalu tertatih buatku menyukainya apa lagi mencintainya, tapi tak mungkin untukku mencintainya hanya saja aku sayang padanya. Melihatnya dari sini, seperti ayah di kala bujang. Kau selalu mengingatkan ku padanya Kafa.
Tapi aku sangat-sangat menderita, merana, teraniyaya, sangat berduka, bahkan aku benar-benar terbebani olehmu Kafa. Menyukaimu adalah hal terbodoh yang pernahku lakukan dan kaupun tak pernah melihat diriku meski ku tepat di depan matamu.
Aku terlalu murahan untuk menyukaimu, terlalu munafik juga aku tidak menyukaimu bahkan aku terlalu mengemis untuk bisa bersamamu. Aku butuh pria yang bisa melindungiku Kafa. Aku sangat membutuhkanmu dalam hidupku, aku memilihmu sebagai pelindungku. Aku butuh tiang yang sangat kokoh untukku bersandar dari segala ombak yang menerjang, tapi apa? Hah? Kau tak pernah mau menjadi tiang itu. Aku rapuh Fa, aku lemah dan aku tak berdaya menghadapimu yang seperti ini.
 Semenjak ayah pergi dari kehidupanku, sudah tak ada lagi yang bisa melindungiku Kafa. Sampai-sampai aku harus melindungi diriku sendiri tanpa ada pengawalan dan tanpa ada pengawasaan. Kau tak tahu bukan? Betapa menyedihkanya menjadi diriku? Harus mendapatkan cinta yang bertepuk sebelah tangan? Terabai olehmu? Tapi aku kuat Fa, ibuku selalu mengajarkanku untuk menjadi STRONG GIRL dan nyatanya sampai saat ini aku bisa. Ya, walau terkadang aku sangat-sangat cengeng menghadapi cinta monyet ini.
But now !! Without you I'm fine. I can breath. I can do everything. Without you I'm strong. Happy and peace.
Tapi sekarang aku berfikir keras, ternyata kau bukanlah untukku. Kau terlalu EGOIS, tak pernah memberiku kesempatan untuk bisa masuk ke dalam duniamu.
Now, my life so happy. Setelah melepas kau dari hidupku. Aku terbebas dari penderitaan yang selama ini menjerat leherku. Tak ada beban yang ku pikul, tak ada sedih yang ku alami, tak ada air mata kepedihan hanya ada air mata kebahagian. Semua hilang saat aku berhenti menyukaimu. Lebih bahagia dengan keadaanku sekarang. Bersyukur dengan apa yang aku milikki, berharap padamu itu membuatku tak pernah bersyukur karena aku harus memilikimu. Memiliki sesuatu yang tak akan bisa ku miliki.

0 komentar:

Posting Komentar