BERSYUKUR TANPAMU
Hari itu, hari di mana untuk
pertama kalinya aku tertarik pada sesosok pria yang membuat dadaku berdegup kencang setiap aku berhadapan
dengannya. Merasakan perasaan yang beda
dari biasanya, rasa yang selalu menggetarkan jiwa.
Ku pandangi wajahnya, ku
terawang jari jemarinya, melukiskan dalam otakku begitu tenang senyumnya, sorot
mata yang tak pernah memandangku, kaki yang pergi entah kemana menjauh dan
menjauh. Tak mampu ku gapai namun meradang.
"Sepertinya aku menyukai
dirinya?", celotehku memujinya tanpa ragu. Bertanya-tanya semua tentang dirinya pada teman karibku di kelas
yang kebetulan merupakan senior pria itu. Banyak hal yang ku temukan dari dirinya, walaupun tak sebanyak air di hamparan
lautan.
"Apakah kau suka
padanya?", teman karibku bertanya hal yang sudah ku duga.
"Iya, mungkin.
Menurutku dia orangnya pendiam, tidak banyak bicara dan jika dilihat-lihat
manis juga!!",
jawab ku tanpa ragu.
Waktu begitu cepat berlalu
tanpa ku sadari aku terjerat asmara pada dirinya, setiap hari memandanginya
tanpa jemu di depan lorong-lorong tempat kita menuntut ilmu, tempat siswa-siswi
bergemuruh ketika lapar mulai merasuki alam yang tak asing lagi untuk
cacing-cacing yang meronta meminta santapan biasanya.
Gelora asmara itu tiba-tiba
saja mulai memudar ketika aku tahu di media sosial wanita itu menandai tentang
suatu foto dan kata-kata mutiara pada pria yang aku sukai. Apa mungkin ia
seorang teman? Atau bisa jadi kekasihnya? Aku masih bertanya-tanya hubungan
mereka yang sebenarnya. Lebih parahnya, walaupun aku tak melihat secara
langsung teman karibku melihat dia dan dirinya bertemu di depan kelas mereka.
Aku yang memicu semua
pembicaraan antara Iner dan Rain, karena rasa penasaran yang mulai meradang dalam darah ini. Mereka lebih
tahu dirinya di banding dengan aku sendiri. Tak ada perbincangan panjang antara
aku dan mereka, cukup tiga kata tapi bermakna.
"Dia ketemuan
kemarin", ucap Iner yang hampir membuatku shock setengah mati.
Rasa sedih mulai mampir dalam
diriku, rasa kecewa pasti, benci itu tidak mungkin. Aku tidak mau menyalahkan
dirinya akibat ulahku sendiri.
Pada suatu ketika, lantunan
ayat suci Al-Quran berkumandang di tengah-tengah area sekolah. Benar saja, kami
semua dalam kegiatan kerohanian. Dari ujung lorong seorang pria melantunkan suara
kerasnya.
Tak lama kemudian, temanku berlari tergesa-gesa untuk
memberitahu bahwa ada yang sakit di kelas 10. Dan ternyata, itu adalah dirinya.
Firasatku tak pernah salah tentangnya, dengan ketulusan hati aku mengobati
dirinya karena aku adalah bagian dari PMR di sekolahku. Bisa dibilang aku juga
bagian terpenting diorganisasi itu.
Tak ada kata terima kasih dari
dirinya, aku benci itu. Dengan wajah tanpa dosa ia tidak mengucapkan
terima kasih.
Aku merutuki diriku sendiri, karena aku menolong dengan
pamrih. Kemudian aku berfikir jernih bahwa aku menolongnya atas dasar KEMANUSIAAN. Aku pergi meninggalkan
dirinya di kelas.
Kejadian itu yang
mengingatkanku pada dirinya sampai detik ini. Wajah pucat yang pasih, menandai
betapa kesakitan dirinya dengan penyakitnya. Mungkin sekarang kau sudah lupa
bukan? Dengan apa yang ku lakukan padamu waktu itu? Meski begitu aku tak apa
kau tak mengingatnya, aku ikhlas menolongmu.
Lambat laun aku sadar bahwa
persaanku tak terbalaskan. Kafa, sebenarnya tahu perasaanku dari Iner dan Rain.
Kafa sangat acuh terhadapku, tak sekalipun ia bertanya padaku, menyapaku apa
lagi tersenyum padaku. Ia hanya tersenyum kepada teman-temanku. Betapa sedihnya
aku tak pernah terlihat olehnya.
Terkadang setiap malam
menjelang tidur aku menangis di kamar. Mengapa
aku bisa menyukainya dan begitu mengharapkannya? Dia yang membuatku seperti
ini. Aku sakit Fa. Aku terluka ketika kau tak pernah sedikitpun memandangku Fa.
Apakah kau tak pernah sadar? Walaupun aku tahu kau sudah ada yang memiliki,
tapi tak bisakah kau menganggapku ada?
Dan untuk pertama kalinya kau
tersenyum padaku ketika kau menjadi tura di upacara bendera. Kau tepat di depan
mataku, aku sengaja tersenyum padamu Fa. Dan akupun senang saat kau
membalasnya, dengan penuh keraguan. Aku melihat itu dari raut wajahmu. Aku
sedih Fa, dengan keraguan itu. Aku sudah mencoba tersenyum berkali-kali padamu.
Tapi apa kau masih ragu dengan senyumku?
Sampai akhirnya aku di
pertemukan dengan hari di mana aku harus tampil bukan sebagai diriku. Menjadi
wanita sombong dan angkuh tetapi tetap berkualitas. Peran itu aku terima karena
sangat cocok dengan karakterku yang keras. Keras dalam hal yang positif.
Untuk pertama kalinya ia
tersenyum tulus kepadaku, mungkin ia terkagum melihatku seperti itu apa mungkin
Kafa merasa terhibur dengan pertunjukkan kelasku. Entahlah aku tak tahu? Yang
jelas, aku hanya tahu bahwa dirinya tulus tersenyum padaku. Kesekian kalinya
aku beralih menatap dirinya menatap lagi dan lagi saat aku bermain peran.
Masih bisanya ya saat-saat
seperti itu aku memperhatikan orang lain. Di saat orang lain terfokus padaku
aku malah berfokus kepada orang lain. Senyum itu yang
mengingatkanku terhadapnya.
Hampir satu tahun setengah aku
menyukainya, terlalu banyak luka pula yang aku terima. Kau tak pernah tahu
Kafa, bagaimana aku berharap padamu. Aku
selalu mengingat
setiap malam aku menangisimu untuk kesekian kalinya akupun berfikir,
"Mengapa aku bisa
menyukaimu dan begitu nyaman dengan aku menerawang wajahmu dari
kejauhan?".
Aku pernah menampik bahwa aku menyukaimu
aku berkata pada mereka,
"Gue ga suka lagi sama
Kafa, kalo gue sampe sekarang suka sama Kafa itu karena dia mirip sama almarhum
Bapak gue. Bukan karena apa-apa".
Sebenarnya aku hanya
mengada-ada tentang itu, tapi lama kelamaan Kafa memang benar-benar mirip
dengan seorang pria yang seumur hidup selalu ku cintai bahkan aku menyayanginya sampai
mati yaitu ayahku. Dia yang membuatku bertahan sampai detik ini.
Mulut-mulut mereka berceloteh
penuh rasa iba padaku. Padahal aku tak perlu rasa iba dari mereka.
"Ya udah bilang aja
langsung kalo lo suka sama dia. Langsung PDKT, minta no hpnya".
Aku selalu menentang,
"OMG Hello. Masa iya
cewek duluan yang bilang, emang gue cewek apaan. Murahan banget kayanya. Sorry
harga diri gue terlalu tinggi".
Teman-temanku pun akhirnya
membenarkan perkataanku.
"Iya juga sih, takutnya
Kafa jadi ilfeel".
Sudah terlalu tertatih buatku
menyukainya apa lagi mencintainya, tapi tak mungkin untukku mencintainya hanya
saja aku sayang padanya. Melihatnya dari sini, seperti ayah di kala bujang. Kau
selalu mengingatkan ku padanya Kafa.
Tapi aku sangat-sangat
menderita, merana, teraniyaya, sangat berduka, bahkan aku benar-benar terbebani
olehmu Kafa. Menyukaimu adalah hal terbodoh yang pernahku lakukan dan kaupun
tak pernah melihat diriku meski ku tepat di depan matamu.
Aku terlalu murahan untuk
menyukaimu, terlalu munafik juga aku tidak menyukaimu bahkan aku terlalu
mengemis untuk bisa bersamamu. Aku butuh pria yang bisa melindungiku Kafa. Aku sangat membutuhkanmu dalam hidupku, aku memilihmu
sebagai pelindungku. Aku butuh tiang yang sangat kokoh untukku bersandar dari
segala ombak yang menerjang, tapi apa? Hah? Kau tak pernah mau menjadi tiang
itu. Aku rapuh Fa, aku lemah dan aku tak berdaya menghadapimu yang seperti ini.
Semenjak ayah pergi dari kehidupanku, sudah
tak ada lagi yang bisa melindungiku Kafa. Sampai-sampai aku harus melindungi
diriku sendiri tanpa ada pengawalan dan tanpa ada pengawasaan. Kau tak tahu
bukan? Betapa menyedihkanya menjadi diriku? Harus mendapatkan cinta yang bertepuk
sebelah tangan? Terabai olehmu? Tapi aku kuat Fa, ibuku selalu mengajarkanku
untuk menjadi STRONG GIRL dan
nyatanya sampai saat ini aku bisa. Ya, walau terkadang aku sangat-sangat
cengeng menghadapi cinta monyet ini.
But now !! Without you I'm
fine. I can breath. I can do everything. Without you I'm strong. Happy and
peace.
Tapi sekarang aku berfikir
keras, ternyata kau bukanlah untukku. Kau terlalu EGOIS, tak pernah memberiku
kesempatan untuk bisa masuk ke dalam duniamu.
Now, my life so happy. Setelah melepas kau dari
hidupku. Aku terbebas dari penderitaan yang selama ini menjerat leherku. Tak ada beban yang ku pikul, tak ada sedih yang ku
alami, tak ada air mata kepedihan hanya ada air mata kebahagian. Semua hilang saat aku berhenti menyukaimu. Lebih bahagia
dengan keadaanku sekarang. Bersyukur dengan apa yang aku
milikki, berharap padamu itu membuatku tak pernah bersyukur karena aku harus
memilikimu. Memiliki sesuatu yang tak akan
bisa ku miliki.
0 komentar:
Posting Komentar